Secara garis besar,sejarah KH. Alwi kita rentang mulai peristiwa di
Klaten, Yaitu pembunuhan terhadap seorang sinder berkebangsaan Belanda oleh
seorang pemuda yang bernama Asngodo, yang kala itu lebih dikenal dengan
nama KH. Alwi. Hal itu disebabkan
kebencian beliau kepada orang–orang Belanda yang pada umumnya sangat kasar dan
kejam kepada penduduk pribumi. Terlebih pada saat dicetuskannya tanam paksa
atau undang-undang ‘CULTURE STELSEL’ OLEH Gubenur Hindia Belanda. Van Den
Boschpada waktu itu . Akibatnya rakyat pribumi semakin sengsara. Sebab mereka
tidak bisa menikmati hasil dari jerih payah bercocok tanam. Kenyataan ini
membuat pemuda Asngodo semakin benci terhadap orang-orang Belanda. Sedangkan
Ayahandanya, dipaksa terus menerus oleh pihak Belanda untuk menyerahkan
sawahnya guna dijadikan lahan tanam paksa untuk ditanami tebu. Tetapi K. Dawud
mengajukan syarat agar yang mengawasi penanaman tebu harus oleh orang Belanda
asli. Hal ini adalah kemauan Asngodo untuk melakukan siasat untuk melampiaskan
kebencian kepada Belanda. Syarat ini disetujui oleh Belanda dan konon opsir
Belanda yang menjadi pengawas adalah orang yang sangat congkak dan angkuh. Tak
pelak lagi, Asngodo secara diam-diam melaksanakan taktiknya dengan membuat
lubang yang dimaksudkan untuk membunuh orang Belanda tadi. Setelah tiba saat
yang tepat Asngodo dengan seorang diri membunuh opsir Belanda tadi dengan
menanam hidup-hidup dalam lubang yang sudah digalinya.
Kejadian ini membuat Asngodo tidak tenang Lalu beliau pergi kesuatu tempat
yang sangat jauh dari Klaten, tempat kelahiran beliau, yaitu ke pulau Sumatera.
Ternyata disinipun banyak orang-orang Belanda. Maka beliaupun kembali ke
Klaten, Jawa Tengah. Disini beliau disarankan agar secepatnya pergi menyusul
kerabat-kerabatnya ke Jawa Timur. Beliau menuju ke Jombang tepatnya di Daerah
Keras kecamatan Diwek. Di daerah Keras saat itu sudah ada seorang kiyai yang
bermukim dari Jawa Tengah yang bernama K .Asya’ri, ayahanda Khadrotus Syeh KH.
Hasyim Asya’ri. Setelah beberapa tahun K. Alwi atau Asngodo kemudian pindah ke
Desa Cukir. Di Desa ini K. Alwi menempati suatu tempat yang sekarang kita kenal
sebagai Masjid Al Falah Cukir. Malangnya di desa Cukir ini banyak dijumpai
orang-orang Belanda, bagaimana tidak , waktu itu telah berdiri Pabrik Gula
Cukir dibawah kekuasaan orang-orang Belanda. Maka untuk lebih menenangkan hati,
beliau memutuskan pergi kesuatu tempat yang terletak ditimur laut desa Cukir
yang waktu itu bernama Sumber Macan, yang masih berupa hutan. Disini beliau
membuka hutan untuk tempat bermukim selamanya, karena dirasa lebih cocok. Oleh
sebab itu beliau pulang dulu ke Klaten
untuk mengambil bibit kelapa sekaligus membawa serta sanak keluarganya.
Begitulah
akhirnya, K. Alwi kembali kedesa Sumber
Macan, yang kemudian disebut dengan “Fauzul Qiwam” yang kemudian hari lebih
dikenal dengan sebutan PaculGowang, beserta ayahandanya K. Dawud. Dan
putera-puteranya yakni: Waritsah, Munshorif, Manshoer dan Anwar.
Di
tempat baru ini beliau membangun musholla. Bermula dari musholla inilah beliau
mulai mengajarkan ilmu agama. Mula-mula terbatas penduduk Pacul Gowang saja,
tapi banyak orang tua yang menitipkan anaknya kepada beliau untuk dididik ilmu
agama. Bahkan ada juga yang berasal dari Jawa Tengah. Inilah cikal bakal
berdirinya pondok pesantren Pacul Gowang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar